Kisah Supardi Tak Waras Gegara Jadi Jagal PKI

0
56
Supardi dengan kaki dirantai

BarisanBerita.com,- Peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia tahun 1965 atau G30 S/PKI, tak hanya menyisakan ratusan ribu korban mati, tapi juga trauma panjang yang mengendap di benak pelaku pembantaian pada peristiwa tersebut

Matanya memandang kosong. Dia tak bisa lagi berkeliaran ke luar. Supardi terpaksa dipasung karena sering membuat resah warga sekitar. Dulunya Dia jagoan kampung dan punya sejarah menewaskan banyak orang yang dicap komunis.

Seorang warga Pondokrejo, Sumbergempol, Tulungagung Jawa Timur, bernama Supardi, duduk sendiri di belakang rumahnya, seperti ditulis majalah Tempo. Pria berusia lebih dari 70 tahun ini, dirantai kakinya karena sering mengamuk dan meresahkan warga. Dia kalau ngamuk selalu membawa cangkul dan senjata tajam yang bisa membahayakan orang lain.

Marjuni menceritakan perihal sebab kakaknya dirantai. Dia mengaku pernah membawa kakaknya ke rumah Sakit Jiwa Lawang, Malang, hingga kemudian keluarga akhirnya yang merawat.

Lewat penuturan Marjuni, terkuaklah kenapa si abang tepaksa harus dipasung. Pria bertubuh besar dan gempal itu, dulunya adalah jagoan kampung dengan bekal ilmu silat yang dipelajarinya. Ketika peristiwa G30S PKI meletus, maka maraklah pembantaian atas antek-antek PKI, termasuk di wilayah Tulungagung. Supardi pun lalu direkrut oleh sebuah organisasi keagamaan untuk menghabisi para antek tersebut.

Supardi, kata Marjuni, lalu dengan gagah melancarkan aksinya. Dia mengumpulkan orang-orang yang dituduh PKI, dan mengikat mereka dalam satu kelompok lalu digorok satu per satu. Mayat mereka kemudian dikubur di sebuah lubang besar di pemakaman desa. Marjuni lupa berapa banyak orang yang dihabisi kakaknya.

Setelah peristiwa pembantaian itu, Supardi diajak temannya bekerja di perkebunan kopi di Sumatera Selatan. Namun, tiga tahun kemudian Supardi dikabarkan mengalami gangguan jiwa dan sering mengamuk. Lalu sang ayah memutuskan membawa pulang putranya. “Kami sampai meminjam borgol milik anggota polisi setempat saat membawanya naik kapal laut,” kata Marjuni.

Upaya penyembuhan Supardi dilakukan keluarga, mulai dari membawa ke rumah sakit jiwa sampai spiritual, namun tak membuahkan hasil. Supardi masih sering mengamuk. Keluarga lalu memutuskan memasung Supardi dan ditempatkan di ruang di belakang rumah berukuran 2,5 x 1,5 meter.

Meski dipasung, Supardi tak pernah mengalami sakit fisik. Tubuhnya terlihat bugar dengan rambut putih yang mulai rontok. “Rambut itu dulu sangat hitam dan panjang,” ujar Marjuni. “Semasa muda Supardi sengaja memanjangkan rambutnya yang merupakan ciri khas seorang pendekar.”

Sehari-hari Supardi membuat benda yang disukainya, seperti membuat layang-layang.

Kemahiran Supardi mengasah celurit dan perkakas tajam menghasilkan keuntungan. Dia kerap menerima order menajamkan celurit dan ujung cangkul dari warga sekitar rumahnya. Sebagai ongkosnya, warga memberikan beberapa batang rokok, ranjangan tembakau dan makanan.

Bagi Marjuni, pemberian warga tersebut bisa meringankan beban biaya perawatan kakaknya.

Namun, tambah Marjuni, dirinya kerap berhati-hati saat berkata-kata dekat kakaknya, apalagi jika membicarakan soal PKI. Supardi bakal mengamuk.

(BBS/Bowo, Bobby)