Tak Lelah Kejar Harta Cendana

32
822
Suharto dan istri latihan menembak

BarisanBerita.com,- Pemerintah terus menarik properti milik eks presiden Soeharto. Salah urus menjadi pintu masuk untuk mengambil alih kelola aset yang dikuasai bekas orang nomor satu itu.

Dimulai dengan Gedung Granadi di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Kala itu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2018, menyita aset di bawah kelola Yayasan Supersemar yang didirikan Soeharto tersebut. Penyitaan Gedung Granadi itu dilakukan setelah dikabulkannya gugatan kepada Yayasan Supersemar.

Titiek Soeharto, putri Soeharto, menyebut pendirian Yayasan Supersemar merupakan upaya sang ayah untuk membantu mencerdaskan bangsa. Sekitar 2 juta orang sudah mendapatkan beasiswa dari yayasan tersebut. Bahkan sekitar 70 persen rektor universitas di Indonesia pernah merasakan bantuan beasiswa dari yayasan milik Keluarga Cendana tersebut.

Untuk Gedung Granadi, kata Titiek, seharusnya tidak bisa disita dengan lantar belakang kesalahan Yayasan Supersemar. Sehingga pada November 2018 lalu, dirinya dan keluarga menolak keras penyitaan. Apalagi gedung tersebut bukan hanya milik Yayasan Supersemar. Di dalam juga terdapat saham gabungan dari sejumlah pihak dari institusi.

“Granadi ini enggak bisa disita lantaran kesalahan Yayasan Supersemar,” Titiek mengungkapkan kala itu.

Kasus ini bermula ketika Yayasan Supersemar digugat Kejaksaan Agung secara perdata pada 2007 atas dugaan penyelewengan dana beasiswa pada berbagai tingkatan sekolah, yang tidak sesuai serta dipinjamkan kepada pihak ketiga. Pada Maret 2008, Kejaksaan Negeri Jaksel telah mengabulkan‎ gugatan Kejaksaan Agung dan menghukum Yayasan Supersemar untuk membayar ganti rugi kepada pemerintah sebesar USD 105 juta dan Rp 46 miliar. Putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Februari 2009.

Begitu pula pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI‎ Jakarta pada Oktober 2010. Namun ternyata terjadi salah ketik terkait jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan oleh Yayasan Supersemar kepada pemerintah. Jumlah yang seharusnya ditulis sebesar Rp 185 miliar menjadi hanya Rp 185 juta, sehingga putusan itu tidak dapat dieksekusi.

Kejaksaan Agung lantas mengajukan Peninjauan Kembali (PK) pada September 2013. Permohonan tersebut dikabulkan MA dan memutuskan bahwa Yayasan Supersemar harus membayar ganti rugi ke negara sebesar Rp 4,4 triliun.

Cerita belum berakhir. Yayasan Supersemar mengajukan perlawanan eksekusi pada 2016. Pada 29 Juni 2016, PN Jaksel mengabulkan perlawanan eksekusi Yayasan Supersemar. PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar sudah menyalurkan dana pendidikan ke yang berhak. Tapi pada 19 Oktober 2017, MA menolak perlawan eksekusi Yayasan Supersemar itu.

Dampak kasus hukum menjerat Yayasan Supersemar, bukan hanya Gedung Granadi disita. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga menyita vila di kawasan Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Lahan seluas 300 meter persegi tersebut disita berbarengan dengan Gedung Granadi saat itu.

Sepanjang 2018 itu, aset milik Keluarga Cendana yang berhasil disita senilai sekitar Rp 242 miliar dari total 113 rekening milik Yayasan Supersemar. Sementara Yayasan Supersemar diwajibkan membayar kerugian negara sebesar Rp 4,4 triliun.

Direktur Barang Milik Negara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu, Encep Sudarwan memastikan jika dua aset yang disita itu sudah dimasukkan menjadi kategori barang milik negara (BMN) maka sudah pasti akan dikelola DJKN. “Sepanjang itu BMN dikelola DJKN,” kata dia dalam diskusi webinar, Jumat pekan lalu.

Encep menjelaskan, ada dua status dalam pemanfaatan BMN, yakni pengelola dan pengguna. DJKN dalam hal ini berlaku sebagai pengelola. Karena itu, jika aset Yayasan Supersemar yang disita sudah menjadi aset negara, maka pasti berada dalam pengelolaan DJKN.

“BMN apapun juga ada pengelolanya. Jadi kalau itu sudah jadi barang milik negara, pasti dikelola untuk DJKN,” ungkap dia.

Yayasan Supersemar didirikan Presiden Soeharto pada 16 Mei 1974. Yayasan ini awalnya bertujuan membantu pendidikan di Indonesia. Dua tahun setelahnya, Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 15/1976. Aturan ini mengamanatkan 50 persen dari 5 persen sisa bersih laba bank negara disetor ke Yayasan Supersemar. Bermodal PP ini, Yayasan Supersemar mendapatkan uang sebesar USD 420 juta dan Rp 185 miliar.

Dana yang terkumpul tersebut rupanya tidak dimanfaatkan sepenuhnya untuk mendukung pendidikan, seperti pemberian beasiswa, pembangunan gedung sekolah, dan kampus. Dalam perjalanan waktu dana yang terkumpul malah diselewengkan ke bisnis keluarga Cendana. Sejumlah perusahaan disebut-sebut menerima kucuran dana.

Sebut saja PT Bank Duta sebesar USD 125 juta. Bank Duta tidak hanya satu kali menerima kucuran dana. Setelahnya, masih ada dana yang diperoleh yakni USD 19 juta, lalu USD 275 juta. Selanjutnya ada Sempati Air sebesar Rp 13 miliar kurun 1989 hingga 1997. Dana dari Yayasan Supersemar juga diberikan kepada PT Kiani Lestari sebesar Rp 150 miliar pada 13 November 1995, kepada PT Kalhold Utama, Essam Timber dan PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri sebesar Rp 12 miliar pada 1982 hingga 1993, dan kepada kelompok usaha Kosgoro sebesar Rp 10 miliar pada 28 Desember 1993.

Ambil Alih Kelola TMII

Pemerintah kembali membidik aset dikelola Keluarga Cendana. Taman Mini Indonesia Indah (TMII) menjadi sasaran terbaru masuk dalam radar. Hanya saja dalam kasus TMII, negara tidak mengambil aset milik Keluarga Cendana. Sebab TMII sesungguhnya merupakan aset milik negara. Pemerintah hanya mengalihkan hak penguasaan dan pengelolaan TMII dari Yayasan Harapan Kita, milik keluarga Cendana.

Penguasaan dan pengelolaan Yayasan Harapan Kita atas TMII dikuatkan dengan Keppres Nomor 51 Tahun 1977. Keputusan tersebut kemudian dicabut oleh Presiden Joko Widodo dengan menerbitkan Lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengelolaan TMII. Kini, pengelolaan TMII berada menjadi wewenang Kementerian Sekretariat Negara.

“Intinya, penguasaan dan pengelolaan TMII dilakukan oleh Kemensesneg dan berarti berhenti pula pengelolaan yang selama ini dilakukan oleh Yayasan Harapan Kita,” kata Mensesneg, Pratikno.

Perbaikan tata kelola TMII menjadi poin utama pengalihan hak penguasaan dan pengelolaan itu. Banyak aspek turut menjadi bahan pertimbangan. Termasuk soal bisnis. Dalam hal ini berkaitan dengan beban operasional TMII yang harus ditanggung Yayasan Harapan Kita selaku pengelola.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengaku bahwa pengambilalihan dilakukan karena TMII selalu merugi selama dikelola Yayasan Harapan Kita (YHK). Puluhan miliar rupiah setiap tahunnya keluar untuk menutupi kerugian TMII. “Saya dapat informasi bahwa setiap tahun, Yayasan Harapan Kita mensubsidi antara Rp40-50 miliar,” ujar Moeldoko.

Karenanya, pemerintah perlu melakukan perbaikan tata kelola TMII. Ini dikarenakan pemerintah ingin agar TMII tersebut memberikan kontribusi yang lebih luas bagi masyarakat dan tanah air.

Alasan lain di balik pengambilalihan TMII, terkait kontribusi keuangan negara. Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) bahkan menyebut yayasan milik keluarga Presiden ke-2 Soeharto itu selaku pengelola tak pernah menyetor pendapatannya ke negara selama 44 tahun. Padahal dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 51 Tahun 1977 menyatakan bahwa TMII adalah hak milik Negara Republik Indonesia.

Cap buruk pengelolaan dan keuangan TMII selama ini, membuat negara segera bergerak. Direktur Barang Milik Negara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu, Encep Sudarwan, menegaskan salah satu alasan pengalihan hak penguasaan ada pengelolaan atas TMII yakni untuk mengoptimalkan pendapatan negara. Sekaligus memperbaiki tata kelola kawasan TMII.

Perbaikan tata kelola juga berkaitan dengan penjelasan secara lebih jelas terkait hal-hal apa saja yang menjadi hak serta tanggung jawab negara dan pengelola. Tiap poin mendetail seperti ini belum diatur di dalam Keppres Nomor 51 Tahun 1977. TMII seharusnya berkontribusi pula pada keuangan negara. Status barang milik negara menjadi dasarnya. Tentu di sisi lain, lokasi wisata di kawasan Jakarta Timur itu harus memberikan manfaat pada masyarakat luas. Encep menjelaskan bahwa selama ini penerimaan dari TMII berupa setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) memang belum ada.

“Jangan dikonfrontasikan, mereka bayar pajak. Tapi kalau PNBP memang belum ada,” ungkap dia.

Kabag Humas Badan Pelaksana Pengelola TMII Adi Widodo, membantah pernyataan menyebutkan bahwa keuangan TMII bermasalah. Sejauh ini keuangan TMII dalam kondisi baik. Meskipun harus diakui adanya penurunan kunjungan di tengah pandemi Covid-19.Menurut Adi, pengelolaan keuangan TMII dilakukan dengan amat hati-hati. Artinya dengan mempertimbangkan sungguh-sungguh kondisi keuangan yang ada.

Selama ini belanja dilakukan selalu disesuaikan dengan pendapatan diperoleh. Dengan begitu ada keseimbangan antara pengeluaran dan pendapatan. Untuk itu, Adi menegaskan bahwa TMII dikelola secara mandiri YHK tanpa adanya suntikan dana dari APBN. “Kita usaha. (Kalau) ada anggaran, kita buat kegiatan yang bagus. Kalau lagi paceklik kita sesuaikan (kegiatan),” ujar dia, kepada Merdeka.com, pekan lalu.

Saat ini total karyawan yang ada di TMII, berjumlah 700 orang. Mulai dari level direksi hingga staf di lapangan. Mereka mengabdi di TMII dengan berbagai status. Ada yang masih berstatus honorer, TKWT (Tenaga Kontrak waktu Tertentu), tenaga harian, hingga karyawan tetap. Jumlah tersebut berkurang dari tahun sebelumnya yang mencapai sekitar 800 orang. Alasan turunnya jumlah karyawan karena adanya karyawan yang memasuki masa pensiun.

Selama masa peralihan, sudah dibentuk tim transisi yang akan mengurus terkait pengalihan pengelolaan TMII. Setelah proses yang dilakukan tim transisi selesai, barulah akan ditetapkan pihak yang akan menjadi pengelola baru TMII. Ada kabar bahwa TMII akan dikelola BUMN. Namun terkait hal itu masih belum dipastikan. “Saya belum terima proposal dari Setneg,” kata Encep.

(Mdk, BBS)

32 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here