“Older men declare war. But it is youth that must fight and die.”
―
“Mereka, kaum tua yang mengumumkan perang. Tapi kaum muda yang harus bertempur dan gugur. (Herbert Hoover, Presiden Amerika Serikat ke-31)
Perang, tak segagah apa yang terlihat. Dia hanya menyisakan pedih yang terus datang menghantui mereka yang terlibat. Sayangnya, meski sudah ribuan kali diceritakan dan disesaki bukti serta derita, tapi perang tetap menjadi pilihan sedap yang kerap diambil tak kala semua orang tergesa ingin cepat keluar dari kerumunan masalah yang melingkari.
Sebuah memoar tentang pahitnya perang dan akibatnya yang tergambar jelas dalam potret Perang Dunia II di Eropa.
Warsawa, 13 September 1939, dua anak gadis sedang mencari kentang ketika pesawat tempur Jerman mendekat dan melepaskan tembakan yang menewaskan satu orang. Seorang fotografer asal AS mengabadikan momen tersebut.
“Ada rumah kayu di sana. Saat pesawat mendekat, Andzia berlari masuk,” kata Kazimiera “Kazia” Mika kepada Eugeniusz Starky, sutradara film “Koresponden Bryan,” pada 2010.
Pada hari itu, 13 September 1939, bom Jerman berjatuhan di rumah tersebut. Andzia Kostewicz dan yang lainnya melarikan diri. Meski dalam bahaya, mereka masih sempat mencoba mengambil kentang dari ladang. Kondisi lapar mengalahkan rasa takut mereka.
Pilot terbang rendah dan lambat sehingga bisa melihat keberadaan seorang wanita dan gadis remaja di tanah lapang. Namun mereka masih melepaskan tembakan. “Bahkan saat ini, meski sudah bertahun-tahun, saya tetap tidak bisa memaafkan mereka,” kata Kazia.
Saat peluru beterbangan, Andzia tertembak di leher dan pecahan peluru merobek bahunya. Beberapa detik kemudian, Kazia yang saat itu berusia 12 tahun berlutut di atas tubuh adiknya yang terluka. Dia tidak tahu apa yang terjadi – itu adalah pertemuan pertamanya dengan kematian. Tidak berselang lama Andzia tewas.
Ketika pesawat telah pergi, fotografer asal Amerika Serikat (AS) Julien Bryan mendekat. Dia berada di Polandia untuk mendokumentasikan hari-hari pertama Perang Dunia II.
Ketika itu Bryan melihat tubuh tak bernyawa seorang wanita yang tergeletak di tanah dan di sampingnya ada seorang anak dengan wajah kosong. Tidak jauh dari situ, dia melihat Kazia berbicara dengan saudara perempuannya yang sudah meninggal. Bryan memotret dan merekam peristiwa sedih itu.
“Dia memandang kami, tertegun. Saya menggendongnya. Dia menangis. Saya juga menangis, begitu pula para perwira Polandia yang ada di sana bersamaku. Apa yang bisa mereka jelaskan kepada anak itu?” ucap Bryan.
Dalam filmnya “Siege”, Bryan mengenang peristiwa itu sebagai kejadian yang paling tragis yang pernah dialaminya selama berada di Warsawa.
Koresponden terakhir di Warsawa
Bryan, sang pembuat film dokumenter AS itu menaiki kereta terakhir tujuan Warsawa, beberapa hari sebelum perang terjadi.
Julien Bryan mengenal Polandia dengan baik. Dia telah menyaksikan pembangunan pelabuhan Gdynia, mengunjungi kedalaman tambang batubara Silesia, terpesona dengan cerita rakyat terkenal dari Lowicz – dan sekarang dia mendokumentasikan kelaparan, penderitaan, dan kematian.
Kru film hanya mendokumentasikan perspektif Jerman: “Mereka menunjukkan bahwa tentara Polandia lebih rendah dan tidak lengkap. Gambaran dalam film mengisahkan orang Yahudi Polandia dengan rambut dan pakaian tradisional – sesuatu yang dibingkai dengan kesan negatif. Mereka ingin menunjukkan hal itu ketika tentara Jerman berjalan berbaris menuju ke Polandia,” kata Jacek Sawicki dari Institut Peringatan Nasional (IPN) Polandia.
Tapi di luar gambar propaganda Jerman, ada juga gambar dari Julien Bryan. Sebagian besar Bryan memfilmkan sekaligus mengambil beberapa foto – dia bahkan memiliki film berwarna, sesuatu yang hampir tidak pernah terdengar pada saat itu – dan gambarnya menunjukkan peristiwa perang dari sudut pandang lain, yaitu tentang para korban.
“Nama saya Bryan. Julien Bryan, fotografer Amerika”
Mereka yang difoto Bryan melihatnya sebagai sebuah jalan menuju dunia yang lebih baik. Banyak yang menatap kameranya dengan percaya diri. “Begitu mereka mendengar saya adalah seorang fotografer Amerika, mereka mengira saya telah melakukan perjalanan jauh-jauh ke Polandia untuk membantu mereka. Tapi yang bisa saya lakukan hanyalah menangkap ekspresi wajah mereka,” kata Bryan dalam film 1940-nya “Siege.”
Namun, Bryan melakukan lebih dari itu – ia menjadi juru bicara rakyat Polandia. Pada 15 September 1939, dia menyiarkan seruan kepada Presiden AS Franklin D. Roosevelt. Dia memulai pesannya dengan kata-kata: “Nama saya Bryan. Julien Bryan, fotografer Amerika.” Berbicara di radio Polandia dengan suara yang tenang namun tegas, dia berkata: “Amerika harus bertindak, harus menghentikan pembantaian terburuk sepanjang zaman. Kepada 130 juta orang Amerika kami meminta, atas nama kesopanan, keadilan dan nilai-nilai Kristiani, untuk datang membantu orang-orang Polandia yang berani.”
Bryan menunjukkan fotonya kepada Roosevelt saat kembali ke AS. Filmnya “Siege”, yang membuatnya memenangkan nominasi Oscar serta dituangkan ke dalam buku, telah ditonton jutaan orang.
Bertahun-tahun kemudian, gadis dalam foto itu masih tercengang oleh Bryan: “Dia sangat bersemangat dengan pekerjaan yang digelutinya. Dia ingin menunjukkan kepada dunia tentang kebenaran, kejahatan. Untuk menunjukkan kepada orang-orang apa yang dilakukan Jerman kepada kami,” kata Kazia.
Julien Bryan kembali ke Warsawa pada tahun 1958. Dia bertemu dengan Kazia Mika yang saat itu sudah berusia 31 tahun. Tidak berhenti di situ, 16 tahun berselang Bryan kembali lagi ke ibu kota Polandia itu bersama dengan putranya yang masih kecil, Sam.
Ketika menghubungi Sam Bryan melalui telepon, Kazia seolah-olah merasa sedang berbicara dengan ayahnya. Suara Sam tenang namun tegas, seperti saat Julien Bryan berbicara kepada Presiden AS.
Julien langsung memberitahu Sam bahwa dia seolah-olah telah mengenal Kazia Mika sejak lama. Ketika itu Sam baru berusia enam bulan ketika ayahnya baru kembali dari Warsawa. Kepada Sam, Julien mengatakan foto gadis menangis telah menemaninya sepanjang hidupnya.
“Saya seperti anak laki-laki baginya. Saya mendengar begitu banyak hal baik tentang ayah saya darinya. Dia berbicara tentang ayah seolah-olah seperti ayahnya sendiri. Dia ingat bagaimana ayah merawatnya. Kami juga mengunjungi kuburan saudara perempuannya bersama. Semuanya sangat mengharukan,” kata Sam Bryan.
Julien Bryan meninggal pada Oktober 1974, beberapa bulan setelah kembali dari Polandia. “Dia berjanji akan menunjukkan Amerika padaku,” kata Kazia Mika. “Sayangnya, saya tidak pernah melihat New York… tapi tidak apa-apa. Saya masih berterima kasih padanya atas foto Andzia.”
Kazimiera Mika meninggal pada 28 Agustus 2020. Dia dimakamkan di Pemakaman Powazki Warsawa, tidak jauh dari tempat Julien Bryan memotretnya di tanah lapang sekitar 81 tahun yang lalu.
(DW)