Tak Berdaya dan Rasa Malu yang Mencekik Bangsa Arab

0
98
Tentara Israel memandang tentara Suriah yang ditawan dalam Perang Yom Kippur

To be an enemy of the United States is dangerous; to be a friend of Washington can be fatal.”—King Hussein, Book: Kill Khalid

 BarisanBerita.com,- Tak ada bangsa yang begitu tertunduk malu dan hampir berpura-pura untuk tak peduli pada derita yang dialami tetangganya, apalagi dihadapkan pada arogansi Israel yang merudupaksa tanah air Palestina. Mereka—bangsa Arab.

Sosok Presiden Mesir, Anwar Sadat, mungkin menjadi sosok yang mengalami dan merasakan betapa harga diri bangsa Arab begitu terpuruk ketika kalah perang melawan Israel.

Dalam satu suratnya ke Raja Faisal dari Arab Saudi, pemimpin Mesir itu tanpa malu mengungkapkan dirinya tak mengharapkan bisa menang perang dalam Perang Yom Kippur melawan Israel pada tahun 1973. Sadat hanya ingin memberitahu bangsa Arab bahwa mereka masih punya nyali dan mampu berperang melawan negara zionis, Israel.

Sadat berhasil menang sesaat dalam perang tersebut, meski kemudian Israel menjadi juaranya. Tapi, dia berhasil sedikit menegakan kepala bangsa arab bahwa mereka bukan pecundang.

Rasa inferior itu bermula dari kekalahan dalam perang enam hari pada tahun 1963. Mesir, Yordania dan Suriah mengepung Israel, namun mereka kalah. Sebagian wilayah tiga negara itu kemudian dianeksasi negeri zionis.

Rasa malu sekaligus tak berdaya menemani hari-hari bangsa Arab. Di sisi lain, Israel makin arogan dan memandang rendah bangsa Arab. Kekalahan lalu berlanjut dalam peristiwa perlawanan bangsa Arab-Palestina yang juga lagi-lagi setia ditemani kekalahan memalukan.

Dignity atau wibawa tak lagi menghampiri bangsa Arab. Warga dunia disuguhi kelancangan nan barbar dari Israel saat menyerang negara-negara tetangganya. Negara-negara Arab paska perang Yom Kippur menjadi negara tanpa punya kemampuan melawan. Mesir memilih menanggung malu dengan berdamai. Begitupun Yordania, yang tahu akan kalah melawan Israel memaksa merapat dengan berjabat tangan.

Dan Palestina? Dia menjadi bangsa yang tereliminasi dan diarahkan untuk hilang dari dataran yang dulu dimilikinya. Palestina pun menjadi laboratorium senjata baru dan ladang utak atik rasa putus asa yang menjadi lembaran studi ilmu psikologi oleh Yahudi.

Satu pencerahan dan upaya keluar dari kungkungan imperial Israel, kata pendiri Hamas, Syeik Ahmed Yasin adalah mempersiapkan bangsa Palestina dan Arab dengan penguatan bidang ideologi, spiritual dan pendidikan kejiwaan.

Dan Hamas mewakili bangsa Palestina sedang menuju ke arah itu meski harus berlumuran darah dari ribuan suhada yang mati syahid.

Redaksi