Sayang, Ku Antar Kau ke Surga

20
760

Pendeta-Neraka
Meneruskan rencananya, List kemudian menghubungi pendeta dan teman akrabnya bahwa dia tak bisa mengajar di sekolah minggu. Dia juga menghubungi guru drama Patty dengan mengatakan bahwa putrinya harus istrahat karena kelelahan. Lengkap sudah skenario yang direncanakan List.

Satu skenario lagi harus dilakukan List. Dia menulis surat untuk ibu mertuanya Eva Morris. List menulis bahwa dirinya harus melakukan aksi tersebut karena tak ada jalan keluar lagi. Dia tak ingin keluarganya menderita karena dia tak mampu menghidupi mereka lagi. List menyebut dirinya tak ingin keluarga hidup dalam kemiskinan.

List melakukan semuanya ini karena dia bangkrut. Tempat kerjanya tutup. Dia berusaha bekerja di tempat lain sebagai salesman, namun dia sadar penghasilannya sangat minim. Dan dia khawatir itu akan membuat anak serta istrinya jatuh miskin. Dia juga tak tahan melihat putrinya yang beranjak dewasa kini jarang ke gereja. Dua putranya pun mulai mencibir tentang keberadaan Tuhan. List tak ingin mereka miskin dan masuk ke neraka.
“Saya tahu yang aku lakukan ini salah…dan hanya anda yang tahu tentang hal itu. Tapi saya yakin anda akan memaklumi mengapa saya melakukan hal ini” tulis List dalam surat yang ditujukan ke Pastor Rehwinkel.

List juga memberi alasan mengapa dia membunuh ibu kandungnya,”Saya tahu, ibu saya seorang penganut kristen yang baik. Saya ingin dia terbebas dari masalah di dunia ini. Sebenarnya saya berencana melakukannya pada pada tanggal 1 Nopember tepat pada peringatan Hari Orang Suci, agar mereka masuk surga bersama, tapi karena sesuatu hal, saya mengubah rencana itu.”

Akuntan ini juga menceritakan mengapa dia membunuh mereka dari belakang. “Saya tahu…perbuatan saya ini sebagai perbuatan pengecut. Saya menembak mereka dari belakang karena tak ingin mereka tahu apa yang akan terjadi. Pendeta, tolong jangan lupa untuk mendoakan saya.”

Omong kosong
Sebagai ahli Psikologi Forensik, Richard Walter menganggap apa yang ditulis oleh John List tentang alasan dia menghabisi nyawa anggota keluarganya, sebagai sampah dan omong kosong. Bagi Walter, dia lebih paham tentang si pembunuh ini.

Pagi itu. Malam usai pembunuhan, List sangat kelelahan. Dia sempat makan di meja tempat dia membunuh Helen. Dia sempat mencuci piring, lalu tidur di ruang biliar di lantai basemen. Meski tak ada banyak informasi, tapi Walter tahu List tidur dengan sangat lelap usai peristiwa pembunuhan itu. “Itu adalah hari yang indah untuknya,” kata Walter dalam hati.

Paginya List menaruh baju untuk berpergian selama dua hari dalam tas travelnya. Dia juga merapikan ruangan rumah. List juga menyalakan seluruh lampu kecuali bagian ruang tamu. Dia juga menyalakan radio dari stasiun radio yang hanya memutar musik klasik. Bagus untuk menenangkan jiwa pikir List. Suara musik klasik pun mengisi ruangan rumah itu.

Sepuluh hari setelah pembunuhan, seorang polisi menemukan mobil Impala milik John terparkir di Bandara JFK. Tapi mobil itu seperti sengaja dibiarkan tak terurus. Saat itu tak ada yang tahu tentang pembunuhan massal tersebut. List dengan sangat cepat melakukan eksekusi dari rencana yang dia persiapkan sangat cermat, sehingga tak seorang pun sadar ada yang salah di rumah berlantai tiga tersebut.

Pada 7 Desember barulah media gempar dan menulis di halaman muka, “Kejahatan Abad Ini”. List masuk daftar pembunuh sadis dan seluruh media mengejar informasi seputar pembunuhan luar biasa sadis tersebut.

Walter meneguk kopi hitamnya dan menyeka matanya untuk lebih fokus. Surat kabar secara masif menggambarkan upaya polisi memburu List secara besar-besaran, walau kemudian berujung pada hal yang memalukan.
“Tak heran kenapa polisi tidak mampu menemukan List,” pikir Walter. “Mereka tak tahu apa yang mereka cari.”

Duit 1 juta dolar
Kasus pembunuhan ini meggemparkan Amerika dan menjadi taruhan besar bagi penegak hukum untuk menangkap si pembunuh. FBI menghabiskan dana 1 juta dolar Amerika dan waktu lebih dari tahunan untuk mengejar John List sebagai satu-satunya pelaku. Mereka menyebar dan mengejar jejak List yang dianggap melewati lima puluh negara bagian, Eropa dan Amerika Selatan. Polisi New Jersey mewawancarai lusinan saksi. Para penegak hukum ini  juga mendata 150 tempat yang dianggap pernah menjadi tempat keberadaan List. Namun penyelidikan menemui jalan buntu. Gosip menyebar dan mempermalukan aparat polisi atas ketidakmampuan mereka.

John List dan patung dirinya yang dibuat Frank Bender berdasarkan rekaan dan profile yang disampaikan Richard Walter

Konsentrasi Walter terganggu saat suara Frank Bender terdengar dari ruang dapur.
“Bagaimana keadaannya,” tanya Bender.
“Lumayan.”
Sang pematung agak heran, dan kembali bertanya, “lalu apalagi yang kau butuhkan?”
Ada banyak hal yang bisa digali oleh Walter. Dia bisa berbicara pada polisi yang pernah mengurus masalah ini, termasuk ratusan saksi, dan dia harapkan tak memudar memorinya.

Cuma mengelabui
Di hadapan Walter juga tergeletak gunungan dokumen berisi wawancara saksi dan foto barang bukti, yang bisa membantu Walter “membaca” kepribadian List.

Walter menatap mata Bender dan berpikir dia tak perlu hal lain. Koran-koran yang memuat kisah pembunuhan itu sudah cukup bagi Walter. Dia tak perlu berbicara pada polisi dan saksi. Si pembunuh sudah secara langsung berkomunikasi dengan Walter. Semua yang ahli forensik ini butuhkan sudah tersedia.
“Semua informasi dan data tentang sosok si pembunuh sudah aku dapatkan,” kata Walter. “Dia pikir dia paling pintar di dunia ini, dan mampu membuat kejahatan sempurna. Padahal dia tak terlalu sulit untuk dibaca.”

Walter menyimpulkan, dari pengakuan List yang luar biasa, dan ribuan kata-kata yang mengakui dirinya bersalah, semua adalah bagian dari upaya dirinya mengelabui siapapun. “List seperti cumi-cumi yang menyemprotkan tinta untuk melindungi dirinya dari kejaran musuh,” ungkap Walter. “Namun sebenarnya List sedang meninggalkan dokumen tentang pengakuan dengan bahasa yang khusus.”
List sedang menulis tentang motif dan nasib sendiri lewat darah serta peluru di rumah megah itu.

Topeng-Iblis
Tahun 1989, suasana studio milik Frank Bender terang oleh sinar matahari yang mengintip dari jendela. Tak ingin rasa penat diam di tubuhnya, Bender mengajak rekannya, Walter ke luar. “Ayo Rich kita ke luar.”

Richard Walter, manusia dengan tubuh kurus ini sebenarnya tak ingin bergerak, namun ajakan si penggila wanita itu tak bisa ditolaknya.

Bender ingin membawa Walter masuk ke dalam diri List, sebagai cara menggali apa yang dia ketahui tentang kepribadian List.
“Aku ingin tahu bagaimana tampang List saat ini,” kata Bender.
“Seperti apa wajahnya, bagaimana di berekspresi?”
Walter terdiam sebentar sambil merapikan bajunya.
“Nih tampangnya, otot wajahnya masih kencang namun sekarang dengan muka yang lebih lebar,” kata Walter, sambil menaikan gagang kacamatanya.
Bender agak kesal dengan candaan Walter. “Rich, yang kumaksud bagaimana wajah List saat dia sekarang berumur enam puluh empat tahun; delapan belas tahun paska dia membunuh keluarganya (List berusia 46 tahun saat membunuh keluarganya),” tanya si pematung.
“List di umur empat puluhan, berambut hitam dengan bagian kepala depan mulai membotak. Yang kulihat sekarang dia mulai botak dengan rambut yang beruban pada dua sisi kepalanya,” kata Bender.

Walter mengangguk setuju. “Ya dengan rambut yang tinggal sedikit, List berusaha tetap rapi, sangat hati-hati menyisir rambutnya. Dia tetap seorang akuntan yang hati-hati dengan penampilannya. Tetap menjaga profesionalitasnya,” ujar Walter.
“Kita tahu List punya bekas jahitan di belakang telinganya,” ungkap Bender. Dia telah mewawancarai ahli bedah di Universitas Pennsylvania.

Untuk melihat perubahan pada List, ahli patung ini juga mengamati generasi seusia List yang berada di jalan-jalan umum dan gereja. Bender mempelajari bentuk wajah, mata dan mulut, termasuk bagaimana para generasi List ini memerlakukan istri mereka.

Frank Bender lalu membuat sket kasar patung kepala List. Dia memotretnya dan mengirim ke polisi, sambil menunggu komentar mereka.

Dia juga mendapat keterangan dari ahli bedah di Philadelphia bahwa bekas luka di belakang telinga List tetap akan terlihat meski orang itu beranjak tua. “Aku tak yakin List akan pergi ke dokter bedah untuk menyamarkan bekas jahitannya itu,” ujar Bender.
“Benar, List orang rumahan. Dia tak akan pergi jauh-jauh. Dia bukan generasi yang hobi joging. Dia sosok yang dingin, dan saking dinginnya dia mampu membunuh seluruh keluarganya,” terang Walter.
“Dagunya kini bergelambir. Wajahnya terlihat makin tua.”
“Lumayan tua.”

20 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here